Hot Posts

6/recent/ticker-posts

HARMONI ENERGI SPIRITUAL & FISIK: PENDEKATAN INTERDISIPLINER, INTEGRASI SPEKTRUM AURA, TITIK LATIFAH, CAKRA MELALUI PRAKTIK ZIKIR THORIQOH QODIRIYYAH NAQSYABANDIYYAH

Oleh.

Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra.Qs (Abah Aos) (Mursyid ke 38, Madrosah + Roudhoh Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) Ma'had Suryalaya Sirnarasa, Guru Agung Penghulu Pesantren KETAHANAN NASIONAL (PPKN) III,  Dusun Cisirri, Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat).

~ Kiyai Dr Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si.(Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Karbon dan Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU, serta Wakil Talqin ke-364 TQN PP Suryalaya Sirnarasa PPKN III).

Abstrak

Makalah ini mengulas sebuah pendekatan interdisipliner untuk mengintegrasikan aspek spiritual dan fisik manusia melalui konsep aura, cakra, dan titik latifah dalam tradisi tasawuf khususnya tarekat Qodariah-Naqsabandiyah, dengan praktik zikir sebagai medium harmonisasi energi.

Tujuannya adalah menyajikan suatu model konseptual yang menggabungkan temuan kontemporer dalam ilmu saraf, fisika medan halus (“biofield”), serta kajian tasawuf, agar pembaca mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana latihan spiritual dapat berdampak pada keseimbangan energi dan tubuh manusia.

Kata kunci: aura, cakra, latifah, zikir, biofield, integrasi spiritual-fisik, Qodariah-Naqsabandiyah

Pendahuluan

Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk berjiwa dan raga menuntut keseimbangan antara aspek fisik dan spiritual. Di banyak tradisi mistik, terdapat ajaran tentang “energi halus” yang menghubungkan tubuh fisik dengan dimensi spiritual — misalnya konsep aura, cakra, dan titik latifah. 

Namun dalam kajian modern, konsep-konsep ini sering dianggap sebagai spekulatif atau mistik belaka. 

Dalam konteks Islam tasawuf, khususnya tarekat Qodariah-Naqsabandiyah, praktik zikir memainkan peran penting sebagai sarana menenangkan jiwa dan “menyelaraskan” suasana batin. 

Beberapa penelitian kualitatif telah menunjukkan korelasi antara praktik dzikir dan ketenangan jiwa dalam komunitas tarekat Qodariah-Naqsabandiyah.

Untuk membuat konsep ini dapat diterima lebih luas, dibutuhkan pendekatan interdisipliner yang mengaitkan spiritualitas, psikologi, dan beberapa temuan ilmiah tentang medan energi manusia (sering disebut “biofield”) dan aktivitas otak selama meditasi atau dzikir.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep aura, cakra, dan titik latifah dijelaskan dari perspektif tradisional tasawuf dan bagaimana mereka saling berhubungan?

2. Apakah terdapat bukti ilmiah kontemporer yang mendukung adanya medan energi atau aktivitas subtil dalam tubuh manusia?

3. Bagaimana praktik zikir dalam tarekat Qodariah-Naqsabandiyah dapat berfungsi sebagai instrumen integrasi energi spiritual dan fisik?

4. Model konseptual seperti apa yang memungkinkan integrasi antara pemahaman tradisional dan data ilmiah?

Tujuan

Makalah ini bertujuan:
Memaparkan konsep tradisional aura, latifah, dan cakra, khususnya dalam perspektif tarekat Qodariah-Naqsabandiyah.

Meninjau bukti‐bukti ilmiah kontemporer dari meditasi, praktik zikir, atau penelitian biofield yang relevan.

Menyajikan model integratif yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan dalam bidang spiritualitas komparatif dan ilmu energi manusia.

Kajian Sebelumnya

Kajian mengenai hubungan antara energi spiritual, praktik zikir, dan kesehatan fisik telah dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai disiplin ilmu, meskipun sifatnya masih terbatas dan sebagian besar bersifat kualitatif maupun fenomenologis.

1. Zikir dan Psikologi Ketenangan

Beberapa studi kualitatif di pesantren tarekat Qodariah-Naqsabandiyah menunjukkan bahwa dzikir memiliki kontribusi signifikan dalam menumbuhkan ketenangan batin, mengurangi kecemasan, serta meningkatkan kualitas hidup para pengamalnya. 

Misalnya, penelitian di Pondok Pesantren Darul Hikmah Mojokerto menemukan bahwa dzikir berjamaah dan wirid individu mampu mengurangi beban psikologis santri serta membentuk pola pikir positif dalam menghadapi permasalahan hidup (Wahyuni, 2017).

2. Latifah dalam Tradisi Sufisme
Kajian tentang lathâ’if al-sab’ah (titik halus dalam tubuh) dalam tarekat Naqsyabandiyah menyebut bahwa setiap latifah merepresentasikan tingkatan kesadaran spiritual, mulai dari qalb (kesadaran hati) hingga akhfa (kesadaran terdalam). 

Penelitian oleh Knysh (2010) mengenai doktrin Sufi klasik menegaskan bahwa konsep latifah berfungsi sebagai “peta batin” bagi murid untuk menapaki jalan spiritual. 

Studi kontemporer di Indonesia juga menemukan bahwa dzikir latifah dipraktikkan dengan teknik pemusatan perhatian pada titik-titik halus tubuh, yang diyakini dapat membersihkan jiwa dan mengaktifkan kesadaran spiritual (Alawi, 2020).

3. Aura dan Biofield

Dalam literatur sains modern, terdapat diskusi mengenai human biofield yang dipahami sebagai medan energi elektromagnetik halus yang memancar dari tubuh manusia. 

Becker & Selden (1985) dalam The Body Electric menunjukkan bukti adanya aliran bioelektrik dalam sistem saraf dan jaringan tubuh. 

Sementara Rubik (2002) mengajukan istilah biofield hypothesis yang menghubungkan medan energi halus dengan kesehatan dan keseimbangan fisiologis. 

Walaupun penelitian ini belum menjadi arus utama, kajian tentang biofield sering dipertemukan dengan konsep aura dalam tradisi spiritual.

4. Cakra dalam Perspektif Psikologi dan Kesehatan

Sistem cakra dari tradisi Yoga dan Tantra telah banyak diteliti dalam kaitannya dengan kesejahteraan mental. Coward (1985) dalam Yoga and Psychology menyebutkan bahwa aktivasi cakra melalui meditasi berkorelasi dengan kondisi psikologis tertentu, misalnya cakra jantung dengan empati dan kasih sayang. 

Penelitian oleh Moga (2022) bahkan menyebut kemungkinan hubungan antara letak cakra dengan pleksus saraf dan kelenjar endokrin, walaupun bukti empiris masih terbatas.

5. Neurosains Meditasi dan Zikir
Meta-analisis oleh Fox et al. (2016) terhadap 78 studi neuroimaging meditasi menunjukkan bahwa praktik meditasi berhubungan dengan aktivasi area otak yang berperan dalam regulasi emosi, perhatian, dan empati. 

Kajian ini memberi landasan bahwa zikir sebagai bentuk meditasi Islami juga berpotensi menimbulkan efek serupa. Studi eksperimental oleh Wachholtz & Pargament (2005) menunjukkan bahwa doa dan meditasi spiritual dapat menurunkan stres fisiologis serta meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit.

6. Integrasi Spiritualitas dan Sains
Upaya integratif telah dilakukan oleh berbagai peneliti dalam bidang psikologi transpersonal, yang memandang praktik spiritual (dzikir, doa, meditasi) tidak hanya sebagai ritual religius, tetapi juga sebagai teknik pengembangan kesadaran dan pengelolaan energi psiko-fisiologis (Wilber, 2000). 

Dalam konteks Islam, penelitian oleh Al-Attas (1990) menekankan bahwa integrasi ilmu dan tasawuf dapat mengarahkan manusia pada keharmonisan antara dimensi jasmani dan ruhani.

Sintesis Kajian Sebelumnya
Dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1. Dzikir terbukti memberi manfaat psikologis, khususnya dalam mengurangi kecemasan dan meningkatkan ketenangan batin.

2. Konsep latifah dalam tasawuf memiliki kesamaan fungsional dengan cakra dalam tradisi timur, yaitu sebagai pusat kesadaran atau energi, meskipun landasan epistemologisnya berbeda.

3. Aura atau biofield mendapat dukungan terbatas dari penelitian sains, khususnya terkait bioelektrisitas tubuh, meski masih diperdebatkan.

4. Neurosains modern membuktikan adanya korelasi meditasi/zikir dengan aktivitas otak tertentu yang mendukung regulasi emosi dan kesehatan mental.

5. Kajian interdisipliner membuka jalan untuk menjembatani konsep spiritual tradisional dengan kerangka ilmiah kontemporer, walau masih banyak keterbatasan bukti empiris.

State of the Art
Kajian mengenai hubungan antara energi spiritual, praktik dzikir, dan kesehatan fisik berada pada titik persilangan antara ilmu tasawuf, psikologi, neurosains, dan studi energi halus (biofield). 

Hingga kini, terdapat beberapa temuan penting yang membentuk landasan state of the art penelitian ini:

1. Dzikir sebagai Meditasi Islami
Dzikir dalam tarekat Qodariah-Naqsabandiyah telah banyak diteliti sebagai praktik religius yang menghasilkan ketenangan jiwa dan pengendalian diri. 

Dari sudut psikologi, dzikir memiliki kesamaan mekanisme dengan meditasi mantra yang memunculkan kondisi relaxation response (Benson, 2000).

Kajian fenomenologis di pesantren (Wahyuni, 2017) menegaskan peran dzikir dalam mengurangi kecemasan dan memperkuat dimensi spiritual santri.

Hal ini menempatkan dzikir sebagai “meditasi Islami” yang dapat diteliti dengan kerangka psikologi kontemporer.

2. Integrasi Latifah, Aura, dan Cakra
Dalam tradisi tasawuf, lathâ’if dipahami sebagai pusat kesadaran batin yang digunakan untuk mengaktifkan lapisan ruhani melalui dzikir. 

Di sisi lain, tradisi Yoga mengajarkan cakra sebagai pusat energi yang berhubungan dengan fisiologi tubuh dan aspek psikologis. 

Sementara itu, konsep aura sering diposisikan sebagai lapisan energi yang memancarkan kondisi batin seseorang. Meskipun berasal dari sistem epistemologis berbeda, ketiganya memiliki fungsi serupa sebagai pusat energi halus dan kesadaran, sehingga membuka peluang integrasi konseptual.

3. Biofield dan Energi Halus dalam Ilmu Modern

Kajian kontemporer mengenai biofield (Rubik, 2002; Moga, 2022) menyatakan adanya kemungkinan medan elektromagnetik halus yang berhubungan dengan fungsi fisiologis manusia. 

Walaupun masih diperdebatkan, hipotesis ini membuka ruang dialog antara konsep aura-cakra-latifah dengan sains modern. 

Penelitian biomedis tentang medan bioelektrik (Becker & Selden, 1985) mendukung gagasan bahwa tubuh manusia bukan sekadar sistem biologis, tetapi juga sistem energi.

4. Neurosains Spiritualitas
Penelitian neuroimaging tentang meditasi dan doa (Fox et al., 2016; Wachholtz & Pargament, 2005) membuktikan bahwa praktik repetitif spiritual mengaktivasi area otak yang terkait dengan regulasi emosi, perhatian, dan pengendalian diri. 

Dalam konteks dzikir, temuan ini menjadi justifikasi ilmiah bahwa praktik spiritual Islam memiliki dampak nyata pada struktur dan fungsi otak.

5. Kekosongan Penelitian (Research Gap)

Meskipun ada banyak penelitian terpisah tentang dzikir, aura, cakra, atau biofield, belum banyak kajian interdisipliner yang mencoba mengintegrasikan ketiganya dalam satu model konseptual. 

Sebagian penelitian masih berfokus pada aspek kualitatif (psikologi religius), sementara bukti fisiologis dan biofisika dari dzikir terhadap energi tubuh masih minim. 

Selain itu, hubungan spesifik antara titik latifah dalam tasawuf dan cakra dalam yoga hampir belum pernah diuji secara sistematis dalam kerangka ilmiah.

Posisi Penelitian (Novelty)
Makalah ini menempati posisi unik dalam peta penelitian dengan:

1. Mengusulkan model konseptual integrasi antara dzikir tarekat Qodariah-Naqsabandiyah, titik latifah, cakra, dan aura/biofield dalam satu kerangka harmonisasi energi spiritual dan fisik.

2. Menawarkan perspektif interdisipliner yang menggabungkan tasawuf, psikologi transpersonal, neurosains, dan kajian bioenergi.

3. Mengidentifikasi potensi metodologi penelitian masa depan yang dapat menguji hubungan ini secara empiris melalui kombinasi alat sains modern (EEG, HRV, fMRI, biofield measurement) dengan praktik dzikir latifah.

Dengan demikian, state of the art penelitian ini berada pada upaya menjembatani tradisi spiritual Islam (dzikir dan latifah) dengan kerangka ilmiah modern (neurosains, biofield, dan teori energi halus), sebuah ruang kajian yang masih jarang disentuh namun memiliki potensi besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan spiritual-fisik secara integratif.

Landasan Teori
Aura dan Biofield
Aura sering dipahami sebagai medan energi halus yang menyelubungi tubuh, menampakkan pola cahaya warna-warni yang mencerminkan kondisi fisik, emosional, mental, dan spiritual seseorang. 

Dalam literatur ilmiah, konsep biofield merujuk pada medan elektromagnetik atau medan energi halus yang mengelilingi dan menembus organisme hidup — meskipun keberadaan biofield pada manusia belum menjadi konsensus ilmiah.

Sebuah ulasan naratif menyebut bahwa meskipun sedikit penelitian ilmiah, ada indikasi bahwa chakra mungkin memancarkan radiasi elektromagnetik atau berhubungan dengan pleksus saraf manusia, meskipun bukti tersebut masih sangat terbatas. 

Penelitian lain terkait aura-chakra, yoga, dan spiritualitas menunjukkan korelasi antara persepsi aura/chakra dengan variabel kinerja kerja dalam studi populasi tertentu.

Namun kritikus mengemukakan bahwa klaim visual aura dan kemampuan melihat aura belum terbukti secara ilmiah dalam lingkungan terkontrol, sehingga sebagian menganggapnya sebagai wilayah pseudoscience.

Cakra dalam Tradisi Timurnya
Sistem cakra (energi pusat) berasal dari tradisi Hindu dan Tantra, dengan penempatan simbolis di sepanjang tulang belakang hingga mahkota kepala.

Tujuh cakra utama sering dikaitkan dengan fungsi fisiologis, kelenjar endokrin, dan aspek psikologis tertentu. Misalnya, cakra jantung (Anahata) berhubungan dengan keseimbangan emosional dan kasih sayang.

Beberapa praktisi modern menggabungkan konsep cakra ke dalam intervensi psikologis dan holistik untuk membantu kesejahteraan mental dan emosional.

Titik Latifah dalam Tasawuf (Latha’if)
Dalam kerangka tarekat Qodariah-Naqsabandiyah (dan tarekat Naqsabandiyah umumnya), terdapat konsep “latifah” atau titik halus (lathâ’if) yang merupakan pusat‐pusat kesadaran halus dalam tubuh. 

Dalam risalah-risalah tarekat, disebutkan bahwa ketika seseorang telah mencapai tahap makrifat tertentu, ia memusatkan perhatian pada berbagai titik halus secara berurutan (qalb, ruh, sirr, khafi, akhfa, nafs nâtiqah, dan akhirnya titik yang meliputi seluruh tubuh – kull jasad).

Dalam praktik dzikir lathâ’if, dzikir tidak hanya diucapkan tetapi dibayangkan getaran dan pancaran nama Alloooh pada titik-titik halus tersebut.

Beberapa penulis membedakan latifah dan cakra sebagai sistem berbeda meskipun terkait; latifah dipahami sebagai titik subtile yang memiliki fungsi spiritual dan kedalaman batin, sedangkan cakra sering dianggap sebagai vektor energi yang lebih berorientasi pada sistem esoterik/energi timur.

Neurologi Meditasi dan Dzikir
Penelitian neurosains tentang meditasi dan praktik mantra (reseptif terhadap kemiripan dengan dzikir) menunjukkan bahwa berbagai gaya meditasi mengaktifkan area otak tertentu seperti insula, korteks cingulate anterior, area frontopolar, dan pre¬supplementary motor cortex. Aktivasi ini konsisten dengan fungsi atensi, regulasi emosi, dan kontrol kognitif.

Dengan demikian, praktik spiritual konsisten seperti zikir dapat menimbulkan perubahan dalam pola aktivitas otak, memperkuat konektivitas neural tertentu, dan memengaruhi sistem otonom serta regulasi stres.

Integrasi Konsep: Model Harmonisasi Energi Spiritual & Fisik
Prinsip Dasar Model
Model ini berupaya menggabungkan tiga domain:

1. Domain Spiritual / Kesadaran — Representasi konsep latifah, kesadaran dzikir, dan orientasi sufistik.

2. Domain Energi Halus / Biofield — Aura, medan energi, chakra.

3. Domain Fisiologis / Neurobiologi — Aktivitas otak, sistem saraf otonom, aliran darah, dan sistem hormonal.

Model ini diasumsikan dalam keadaan “seimbang” ketika energi spiritual (kesadaran terus-menerus kepada Tuhan) terhubung secara sinkron dengan medan energi halus (aura & cakra) dan fungsi tubuh secara fisik (otak, sistem saraf, endokrin).

Mekanisme Kerja Hipotetik
1. Zikir intensif & sadar → fokus mental dan repetisi verbal → modulasi aktivitas otak (pre-frontal, cingulate) → regulasi sistem otonom (menurunkan stres, simpatis/parasimpatis)
2.Kesadaran latifah → memusatkan kesadaran pada titik halus tertentu dibayangkan sebagai pusat resonansi → resonansi frekuensi halus dalam tubuh (analog gelombang energi)
3. Keterhubungan dengan aura & cakra → titik-titik latifah dicocokkan atau “di-harmonisasi” dengan cakra (energi pusat) dan aura eksternal melalui prinsip resonansi atau transmisi getaran
4. Umum: integrasi energi → kondisi optimal tercapai ketika frekuensi spiritual (zikir, kesadaran) selaras dengan struktur biofield dan aktivitas fisiologis (otak, saraf).

Dengan kata lain, dzikir bukan hanya aspek verbal/spiritual, melainkan “alat” penyelarasan frekuensi dalam tubuh manusia dari tingkat halus hingga konkret.

Implikasi dan Potensi Penelitian
Implikasi Praktis

Bagi praktisi tarekat, model ini dapat membantu memahami aspek “energi” dari latihan zikir secara sistematik.

Dalam konteks terapi spiritual / psikologi, model ini membuka kesempatan untuk integrasi meditasi-dzikir ke dalam terapi mind-body.

Pengembangan instrumen pengukuran medan energi halus (misalnya alat sensitivitas biofield) yang dipadukan dengan pengukuran fisiologis (EEG, HRV, fMRI) dapat menjadi alat penelitian.

Tantangan dan Keterbatasan
Bukti ilmiah atas aura, chakra, dan titik latifah sangat terbatas atau kontroversial. Misalnya, sebagian klaim aura dikategorikan sebagai pseudoscience karena belum terbukti secara eksperimen terkontrol.

Terjemahan konsep spiritual ke dalam kerangka ilmiah memerlukan operasionalisasi yang ketat agar tidak menjadi sekadar metafora.

Potensi bias subjektif dalam pelaporan pengalaman dini (misalnya persepsi aura) perlu dikendalikan melalui desain penelitian yang baik.

Integrasi antara agama dan ilmu membutuhkan kehati-hatian metodologis agar tidak mengaburkan batas antara iman dan data empiris.

Agenda Penelitian Lanjutan

Studi kuantitatif dengan desain eksperimental: misalnya membandingkan kelompok dzikir latifah dengan kontrol (tidak dzikir) dengan pengukuran EEG, HRV, atau medan elektromagnetik tubuh.

Eksplorasi alat-sensitivitas aura / biofield independen yang dapat diuji ulang (reliabel).

Analisis korelasional antara pengalaman spiritual (intensitas dzikir / kesadaran latifah) dan parameter fisiologis (pengukuran stres, hormon, biomarker inflamasi).

Studi komparatif antara praktik zikir tarekat Qodariah-Naqsabandiyah dengan meditasi mantra atau praktik energi dalam tradisi lain.

Penutup
Kesimpulan
Kajian ini menunjukkan bahwa praktik dzikir dalam tarekat Qodariah-Naqsabandiyah bukan hanya sekadar ritual spiritual, tetapi juga dapat dipahami sebagai mekanisme harmonisasi energi antara aspek spiritual dan fisik manusia. 

Integrasi konsep latifah dalam tasawuf dengan cakra dari tradisi timur dan aura/biofield dari perspektif modern membuka ruang dialog interdisipliner yang memperkaya pemahaman tentang manusia sebagai entitas jasmani dan ruhani. 

Dzikir berperan sebagai jembatan yang menghubungkan kesadaran batin, keseimbangan energi halus, dan kesehatan fisiologis melalui pengaruhnya pada otak, sistem saraf, dan emosi.

Model harmoni energi spiritual-fisik melalui integrasi aura, cakra, dan titik latifah via praktik zikir tarekat Qodariah-Naqsabandiyah merupakan suatu pendekatan konseptual yang menjembatani tasawuf tradisional dan kerangka ilmiah kontemporer. Walaupun menjadi simpul hipotesis karena keterbatasan bukti empiris tentang medan energi manusia, model ini menawarkan landasan bagi penelitian lintas-disiplin di masa depan. 

Dengan desain penelitian yang cermat, mungkin suatu saat kita dapat menguji secara objektif bagaimana latihan zikir dapat memengaruhi tubuh manusia di berbagai tingkatan — fisik, energi halus, dan spiritual.

Saran
1. Penelitian empiris lebih lanjut diperlukan untuk menguji hubungan antara dzikir, latifah, dan biofield dengan instrumen sains modern seperti EEG, HRV, atau fMRI.

2. Kajian komparatif antara dzikir, meditasi mantra, dan yoga dapat membantu memperluas pemahaman lintas tradisi tentang energi spiritual dan kesehatan.

3. Perlu pengembangan metodologi interdisipliner yang mampu menjembatani epistemologi tasawuf dengan kerangka ilmiah kontemporer tanpa mengaburkan nilai spiritualnya.
Implikasi

Ilmiah: Memberikan landasan bagi pengembangan spiritual neuroscience dan biofield research dalam konteks Islam.

Praktis: Memberikan pemahaman bagi praktisi tarekat bahwa dzikir memiliki manfaat kesehatan fisik dan psikologis selain aspek spiritual.

Sosial-Budaya: Membuka peluang integrasi antara kearifan lokal (tasawuf) dengan wacana global tentang kesehatan holistik.
Dampak

Jika dikembangkan lebih lanjut, kajian ini dapat:

Membantu pengembangan terapi alternatif berbasis dzikir untuk mengatasi stres, kecemasan, atau gangguan psikologis ringan.

Memberi kontribusi pada penguatan spiritualitas dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Menghasilkan model Islamic Mind-Body Practice yang diakui secara akademik maupun praktis.

Rekomendasi
1.Lembaga pendidikan tinggi Islam dan umum perlu membuka ruang riset interdisipliner yang mengkaji hubungan spiritualitas, energi halus, dan kesehatan.

2. Pesantren tarekat dapat berkolaborasi dengan ilmuwan untuk menguji praktik dzikir dalam kerangka penelitian empiris.

3. Pemerintah dan lembaga kesehatan dapat mempertimbangkan pengintegrasian praktik dzikir atau meditasi spiritual sebagai bagian dari pendekatan kesehatan holistik masyarakat.

4. Peneliti di bidang sains energi dan psikologi transpersonal perlu mengembangkan instrumen yang lebih reliabel untuk mengukur aura/biofield secara objektif.

Dengan demikian, makalah ini menegaskan bahwa harmoni energi spiritual dan fisik melalui dzikir bukan hanya keutamaan religius, tetapi juga memiliki potensi ilmiah, sosial, dan praktis yang luas.(ms2)

Posting Komentar

0 Komentar